10
Feb
|
Pengendalian Inflasi dan Jaga Stabilitas Ekonomi di Kalteng, Tantangannya dan Peran TPID |
Baca juga: Kerjasama dengan KPK, 47 Pegawai OJK Ikuti Pelatihan Penyuluhan Antikorupsi
Pendahuluan
Bahan pangan pokok seperti komoditi beras, gula, daging sapi, cabe, bawang, daging dan telur ayam merupakan kebutuhan mendasar masyarakat sehingga fluktuasi harganya harus selalu tetap terjaga.
Apabila harga komoditi ini bergejolak, maka ada resiko yang harus ditanggung, baik oleh konsumen maupun produsen. Ini karena secara psikologis, gejolak harga memicu timbulnya masalah sosial dan politik di masyarakat.
Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) yang memiliki luas 15,3 juta hektar (Ha), jumlah penduduknya hanya berkisar 2,7 juta jiwa (Dukcapil Kemendagri, 2024) dengan kepadatan penduduk 18 orang per kilometer (Km).
Provinsi ini pernah digadang-gadang sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
Sejumlah program prestisius untuk swasembada pangan nasional pernah dicanangkan oleh sejumlah Presiden RI di Kalteng.
Contohnya, pada Tahun 1995, saat era Presiden Soeharto, di Kalteng dicanangkan Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 Juta hektar di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau.
Kemudian di masa Presiden Joko Widodo, pada Tahun 2020, masih dikabupaten yang sama, kembali dicanangkan program Food Estate.
Kini, di Tahun 2025, saat Presiden Prabowo Subianto menjadi presiden RI, Kalteng kembali menjadikan salah satu tempat melakukan swasembada padi dan jagung untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Sejumlah progam pangan nasional yang dicanangkan di Kalteng tentu pada ujungnya diharapkan bisa untuk pemenuhan ketahanan pangan nasional termasuk Kalteng, sekaligus menjadi salah satu cara pengendalian inflasi.
Permasalahan di Provinsi Kalteng
Provinsi Kalteng yang memiliki luas 1,5 kali Pulau Jawa itu tentu diperlukan langkah dan kerjasama para pemangku kepentingan (stakeholders).
Namun sayangnya, target yang ingin diraih seperti menjaga stabilitas inflasi dan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya akan sulit diraih.
Ada sejumlah kendala yang hingga saat ini masih menjadi ‘onak dan duri’ saat hendak melakukan aksi dilapangan.
Seperti kurang kompaknya antar kabupaten dalam pengendalian inflasi. Kemudian tidak terkoordinasi dengan baik kabupaten dengan pemerintahan di provinsi merupakan jadi penyebab upaya penanganan inflasi menjadi lambat di Provinsi Kalteng.
Keadaan ini disebabkan karena munculnya ego kedaerahan. Kemudian perbedaan pilihan politik para pemimpin di kabupaten juga menjadi penentu arah kebijakan daerah tersebut.
Kondisi ini berakibat penanganan inflasi yang seharusnya bila dikerjakan “kroyokan’ malah tak bisa dilakukan dan berujung meningkatnya angka inflasi pada daerah tententu.
Contohnya, Kabupaten Pulang Pisau yang merupakan daerah lumbung padi di Kalteng, saat ini beras hasil kabupaten itu justru banyak yang dikirim keluar provinsi salah satunya ke Kalimantan Selatan (Kalsel).
Ada sejumlah penyebab kondisi ini terjadi. Salah satunya yakni masih bergantunganya masyarakat dengan para pemodal yang kebanyakan berasal dari Kalsel. Mereka ini meminjamkan modal kepada petani saat mereka mulai melakukan tanam padi.
Sehingga ketika misalnya kabupaten Kotawaringin Timur memerlukan beras, mereka akan memasoknya dari Pulau Jawa yang tentunya harganya lebih mahal. Kondisi ini bukan tak mungkin akan mengakibatkan terjadinya inflasi.
Padahal bila kerjasama ini terjalin, maka masing-masing kabupaten bisa menjadi pemasok barang antar kabupaten di Kalteng.
Penyebab lain yang terjadi yakni masih belum masih belum padunya kerjasama antar Tim Pengendali Inflasi daerah (TPID) yang ada di kabupaten se- Kalteng.
Keberadaan tim yang merupakan gabungan semua pemangku kepentingan di kabupaten diharapkan bisa menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat, ternyata peran mereka belum seperti yang diharapkan.
TPID di 13 kabupaten dan 1 kota yang diharapkan bisa melakukan kolaborasi dan saling mengisi antar kabupaten, ternyata terkesan berjalan sendiri-sendiri dan tak terkoordinasi dengan baik.
Pengendalian Inflasi di Provinsi Kalteng
Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kalteng menegaskan komitmennya dalam menjaga stabilitas inflasi tahun 2025 agar tetap terkendali di kisaran 2,51 persen.
Ini tentu angka yang realistis namun akan sulit dicapai apabila kerjasama semua pemangku kepentingan (stakeholders) seperti para pemimpin didaerah terrmasuk TPID di kabupaten dan kota se-Kalteng tidak seirama dan seiring.
Pengendalian inflasi yang diharapkan melalui kerjasama ini tidak bisa langsung tentang hitungan angka, tetapi lebih kepada upaya untuk menjaga pasokan atau supply komoditi yang ada di Kalimantan Tengah, ini karena dengan supply yang terjaga harga komoditas pangan pokok juga bisa terjaga.
Diperlukan komitmen bersama agar pengendalian inflasi di Kalteng bisa terjaga dan ketahanan pangan terwujudkan.
Selain itu peran dan tugas TPID sharusnya mulai diberikan tempat serta porsi yang lebih besar agar bisa bekerja dilapangan dan tak hanya melakukan rapat dalam ruangan, tapi kerja TPID diharapkan ada dampaknya bagi masyarakat.
Pemberdayaan dan memberikan porsi yang lebih besar kepada TPID sangat penting mengingat tim ini adalah kumpulan para pemangku kepentingan yang memiliki peran yang luas dalam melakukan pengendalian inflasi.
Selain itu, peran media massa juga saat penting untuk menyuarakan ide dan gagasan yang akan dilakukan pemerintah kepada warganya.
Media massa diharapkan bapat membantu pemerintah dalam menjalan progam yang miliki dilapangan.
KARANA WIJAYA WARDANA